BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomi. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan
berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, nondiskriminatis serta norma-norma
agama.
Anak
berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat merupakan salah satu sumber daya
manusia bangsa Indonesia yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat
berperan, tidak hanya sebagai obyek pembangunan tetapi juga sebagai subyek pembangunan.
Anak penyandang cacat perlu dikenali dan diidentifikasi dari kelompok anak pada
umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat khusus, seperti
pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang bertujuan
untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan akibat kelainan yang diderita,
serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat.
WHO
memperkirakan jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7-10 % dari
total jumlah anak. Menurut data Sussenas tahun 2003, di Indonesia terdapat
679.048 anak usia sekolah berkebutuhan khusus atau 21,42 % dari seluruh jumlah anak
berkebutuhan khusus. Masalah kecacatan pada anak merupakan masalah yang cukup
kompleks baik secara kuantitas maupun kualitas, mengingat berbagai jenis kecacatan
mempunyai permasalahan tersendiri. Jika masalah anak penyandang cacat ini
ditangani secara dini dengan baik dan keterampilan mereka ditingkatkan sesuai
minat, maka beban keluarga, masyarakat dan negara dapat dikurangi. Sebaliknya
jika tidak diatasi secara benar, maka dampaknya akan memperberat beban keluarga
dan negara. Undang – Undang Republik Indonesia No.4 tahun 1997, tentang
Penyandang Cacat, menyatakan bahwa penyandang cacat mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan. Hak
tersebut diperjelas dalam Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa semua anak termasuk anak penyandang
cacat mempunyai hak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta hak untuk didengar
pendapatnya.
Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan
kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat
dan produktif secara sosial, ekonomis dan bermartabat. Pemerintah wajib
menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi
penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial
dan ekonomis. Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan
hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik
dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, yang diselenggarakan melalui
sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain. Oleh karena
itu pelayanan kesehatan terhadap anak penyandang cacat yang ada di Sekolah Luar
Biasa (SLB) harus dilaksanakan sama dan setara seperti yang diberikan pada anak-anak
lainnya.
Berdasarkan
hal tersebut perlu dilakukan pendekatan yang tepat untuk memberikan pelayanan
bagi anak penyandang cacat. Pendekatan yang cukup strategis adalah melalui
program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di SLB, mengingat SLB merupakan salah
satu sasaran UKS yang belum dilaksanakan secara optimal. Agar pelayanan
kesehatan terhadap anak penyandang cacat dapat diberikan sesuai haknya, maka
perlu disusun pedoman pelayanan kesehatan di Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai
acuan bagi tenaga kesehatan dalam pelaksanaan di lapangan.
B.
TUJUAN
Tujuan Umum : Meningkatkan status kesehatan
dan mengurangi tingkat
ketergantungan anak
penyandang cacat di SLB.
Tujuan Khusus:
1.
Meningkatnya
kemampuan tenaga kesehatan di puskesmas dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan anak penyandang cacat di SLB.
2.
Meningkatnya
akses anak penyandang cacat di SLB terhadap sarana pelayanan kesehatan di
Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan rujukan di Rumah Sakit.
3.
Meningkatnya
kerjasama lintas program dan lintas sektor terkait dalam bentuk kemitraan dan
jejaring pelayanan kesehatan bagi anak penyandang cacat di SLB.
4.
Meningkatnya
cakupan pembinaan UKS.
C.
SASARAN
Sasaran
langsung : Tenaga
kesehatan di Puskesmas
Sasaran
tidak langsung :
1.
Anak
penyandang cacat di SLB
2.
Guru
(Pendidik) dan tenaga kependidikan
3.
Komite
Sekolah
4.
Keluarga
dari anak usia sekolah penyandang cacat, terutama orang tuanya
5.
Tim
Pelaksana UKS
6.
Tim
pembina UKS di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan
7.
Organisasi
sosial peduli penyandang cacat
D.
RUANG
LINGKUP
Pelayanan
kesehatan di SLB meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas, Guru pembina UKS, Kader
Kesehatan dan Komite Sekolah.
E.
DASAR
HUKUM
1.
Undang-undang
Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2.
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
3.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional
5.
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
6.
Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
7.
Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998, tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat (PP No
38 Tahun 2007?? Dicek ada PP yang baru kemensos)
8.
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
9.
Peraturan
Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
10.
Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimum bidang
kesehatan di Kabupaten/Kota
11.
Surat
Keputusan Bersama 4 Menteri; Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1/U/SKB/2003,
Menteri Kesehatan Nomor 1067/Menkes/SKB/VII/2003, Menteri Agama Nomor
MA/230A/2003 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan
Pengembangan UKS.
12.
Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457 Tahun 2003 tentang Standar Pelayanan
Minimal bidang Pelayanan Kesehatan.
13.
Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 128/MENKES/ SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar
Puskesmas
14.
(ada
tambahan dari Dit Ibu)
F.
PENGERTIAN
1.
Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar, dan anak yang akibat
keadaan tertentu mengalami kekerasan, berada di lembaga permasyarakatan/ rumah tahanan,
di jalanan, di daerah terpencil/bencana/konflik yang memerlukan penanganan secara
khusus.
2.
Anak
Penyandang cacat adalah setiap anak yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya
untuk melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri dari penyandang cacat
fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.
3.
Penyandang
cacat fisik anak adalah seorang anak yang mempunyai kecacatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan,
pendengaran, kemampuan bicara/wicara dan penyakit khronis (kusta, TB, degeneratif:
diabetes, hipertensi, stroke)
4.
Penyandang
cacat mental anak adalah seorang anak yang mempunyai kelainan mental dan atau tingkah
laku, yang dapat disebabkan oleh cacat bawaan atau penyakit yang didapat, atau
seorang yang mengalami gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor organobiologis
maupun fungsional yang mengakibatkan perubahan dalam alam pikiran, alam
perasaan dan perbuatan sehingga memiliki masalah sosial dalam memenuhi kebutuhan
pendidikan, mencari nafkah dan dalam kegiatan bermasyarakat.
5.
Anak
Tunanetra adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang
dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan (Kaufman &
Hallahan).
6.
Anak
Tunarungu/Tunawicara/wicara adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran
baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam
berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
7.
Anak
Tunagrahita adalah anak yang memiliki intelegensi yang signifikan berada
dibawah rata rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku
yang muncul dalam masa perkembangan.
8.
Anak
Tunadaksa adalah anak yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh
kelainan neuro-muskuler dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau
akibat kecelakaan, termasuk cere, polio dan lumpuh.
9.
Anak
Tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol
sosial, dan biasanya menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan
norma dan aturan yang berlaku disekitarnya.
10.
Attention
Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas (GPPH) adalah sekelompok kelainan mekanisme tertentu pada sistim
syaraf pusat yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif, tidak bisa beristirahat,
berperilaku tidak sabaran, kesulitan untuk memusatkan perhatian dan impulsif.
11.
Autisme
adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa
balita, yang membuat dirinya tidak membentuk hubungan sosial atau komunikasi
yang normal, yang mengakibatkan anak terisolasi dari manusia lain dan masuk
dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993)
12.
Anak
Tunaganda adalah anak yang memiliki dua ketunaan atau lebih yang masing-masing
perpaduan ketunaan tersebut memiliki ciri khas dalam belajar sehingga diperlukan
pelayanan pendidikan khusus dan alat bantu belajar yang khusus (Widjajantin,
2004).
13.
Sekolah
adalah Taman Kanak-kanak, Taman Kanak-kanak Luar Biasa, Raudatul Athfal,
Sekolah Dasar, Sekolah Dasar Luar Biasa, Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah
Atas, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan,
Madrasah Aliyah Kejuruan serta Satuan Pendidikan Keagamaan yang sederajat dan
setara termasuk Pondok Pesantren baik pada pendidikan formal dan non formal.
14.
Sekolah
Inklusif adalah sekolah umum yang melaksanakan pendidikan sesuai dengan
kebutuhan siswa yang memerlukan pendidikan khusus dalam satu kesatuan yang sistemik
dengan menggunakan kurikulum yang fleksibel disesuaikan dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap siswa.
15.
Sekolah Luar
Biasa (SLB) adalah: Sekolah bagi anak berkebutuhan khusus yaitu salah satu
jenis sekolah yang bertanggungjawab melaksanakan pendidikan untuk anakanak yang
berkebutuhan khusus.
16.
Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS) adalah suatu upaya yang diselenggarakan untuk
meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat
sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan
optimal sehingga diharapkan dapat menjadikan sumber daya manusia yang
berkualitas.
17.
Tenaga
kesehatan adalah adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
BAB II
ANALISA SITUASI ANAK PENYANDANG
CACAT DI INDONESIA
Keberadaan anak berkebutuhan
khusus termasuk penyandang cacat secara nasional maupun sebarannya pada masing-masing
provinsi belum memiliki data yang pasti. Menurut WHO jumlah anak berkebutuhan
khusus di Indonesia adalah sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun
atau sebesar 6.230.000 pada tahun 2007. Menurut data
Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di
Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000
jiwa. Dari jumlah tersebut 24,45% atau 361.860 diantaranya adalah anak-anak
usia 0-18 tahun dan 21,42% atau 317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah
(5-18 tahun).
Sekitar 66.610 anak usia
sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) ini
terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ini berarti masih ada 295.250 anak
penyandang cacat (85,6%) ada di masyarakat dibawah pembinaan dan pengawasan
orang tua dan keluarga dan pada umumnya belum memperoleh akses pelayanan kesehatan
sebagaimana mestinya. Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang ada di
Sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan
di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak.
Anak penyandang cacat dapat
digolongkan menjadi beberapa kelompok antara lain: tunanetra,
Tunarungu/Tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, attention deficit and hyperactivity
disorder (ADHD), autisme dan tunaganda, yang masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda dan memerlukan penanganan dan pelayanan yang berbeda
pula. (Lihat lampiran 1)
A.
KARAKTERISTIK
Karakteristik
untuk masing-masing jenis kecacatan, dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Tunanetra
Karakteristik
anak tunanetra antara lain:
mempunyai kemampuan berhitung, menerima
informasi dan kosakata hampir menyamai anak normal tetapi mengalami kesulitan dalam
hal pemahaman yang berhubungan dengan penglihatan; kesulitan penguasaan
keterampilan sosial yang ditandai dengan sikap tubuh tidak menentu, agak kaku,
serta antara ucapan dan tindakan kurang sesuai karena tidak dapat mengetahui
situasi yang ada di lingkungan sekitarnya.
Umumnya mereka menunjukkan kepekaan indera pendengaran
dan perabaan yang lebih baik dibandingkan dengan anak normal, serta sering
melakukan perilaku stereotip seperti menggosok-gosokkan mata dan meraba-raba sekelilingnya.
2.
Tunarungu/Tunawicara
Anak Tunarungu/Tunawicara mengalami gangguan komunikasi
secara verbal karena kehilangan seluruh atauNsebagian daya pendengarannya,
sehingga mereka menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi, oleh karena itu
pergaulan dengan orang normal mengalami hambatan. Selain itu mereka memiliki
sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, cepat marah dan mudah tersinggung.
Kesehatan fisik pada umumnya sama dengan anak normal lainnya.
3.
Tunagrahita
Memiliki prestasi sekolah kurang secara
menyeluruh, tingkat kecerdasan (IQ) di bawah 70, memiliki ketergantungan pada orang
lain secara berlebihan, kurang tanggap, penampilan fisiknya kurang
proporsional, perkembangan bicara terlambat dan bahasa terbatas.
4.
Tunadaksa
Karakterisitik
anak tunadaksa adalah:
Anggota
gerak tubuh tidak lengkap, bentuk anggota tubuh dan tulang belakang tidak
normal, kemampuan gerak sendi terbatas, ada hambatan dalam melaksanakan
aktifitas kehidupan sehari hari.
5.
Tunalaras
Karakteristik
anak tunalaras adalah:
Melakukan
tindak kekerasan bukan karena mempertahankan diri, misalnya: pemukulan, penganiayaan
dan pencurian, serta sering melakukan pelanggaran berbagai aturan.
6.
Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Karakteristik
untuk kelainan ini adalah hiperaktif, tidak bisa istirahat, tidak kenal lelah,
perilaku tidak sabaran dan impulsif, tetapi masih punya kemampuan untuk
memberikan perhatian dan tanggung jawab, serta sering menghabiskan waktu untuk
mengerjakan sesuatu yang menarik perhatian mereka.
7.
Autisme
Karakteritik
anak autisme adalah:
memiliki
respon abnormal terhadap stimuli sensori; perkembangan kemampuan kognitif terlambat;
tidak mampu mengembangkan sosialisasi yang normal; gangguan dalam berbicara,
bahasa dan komunikasi; serta senang meniru atau mengulangi kata-kata orang lain
(egolalia).
8.
Tunaganda
Anak
tunaganda memiliki ciri dan katakteristik antara lain:
memiliki
ketunaan lebih dari satu; semakin parah apabila tidak segera mendapatkan
bantuan; sulit dievaluasi, cenderung menimbulkan ketunaan baru; memiliki wajah
yang khas, pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat dari usia kalendernya;
kemampuan orientasi dan mobilitasnya terbatas; cenderung menyendiri; memiliki
emosi tidak stabil; perkembangan emosi pada umumnya tidak sesuai dengan usia
kalendernya; dan tingkat kecerdasan yang cenderung rendah.
B.
DATA
DASAR ANAK PENYANDANG CACAT DI SLB
Sekolah Luar Biasa merupakan sekolah khusus yang
diperuntukkan bagi anak penyandang cacat yang dapat dikelompokkan menjadi:
1.
SLB-A: Sekolah
untuk Tunanetra (Anak yang mengalami hambatan penglihatan)
2.
SLB-B: Sekolah
untuk Tunarunggu (Anak yang mengalami hambatan pendengaran)
3.
SLB-C: Sekolah
untuk Tunagrahita (Anak yang mengalami retardasi mental)
4.
SLB-D: Sekolah
untuk Tunadaksa (Anak yang mengalami cacat tubuh)
5.
SLB-E: Sekolah
untuk Tunalaras ( Anak yang mengalami penyimpangan emosi dan sosial)
6.
SLB-F: Sekolah
khusus untuk Autis
7.
SLB-G: Sekolah
untuk Tunaganda (Anak yang mengalami lebih dari satu hambatan).
1. Data SLB di Indonesia
Berdasarkan data
dari Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional
Republik Indonesia pada tahun 2008 jumlah SLB di Indonesia adalah sebagai berikut
:
a.
Sekolah khusus
tunanetra (SLB A) : 32 sekolah
b.
Sekolah khusus
Tunarungu/Tunawicara (SLB B) : 97 Sekolah
c.
Sekolah khusus
tunagrahita (SLB C) : 108 sekolah
d.
Sekolah khusus
tunadaksa (SLB D) : 10 sekolah
e.
Sekolah khusus
tunalaras (SLB E) : 7 sekolah
f.
Sekolah khusus
autis (SLB F) : 20 sekolah
g.
Sekolah khusus
tunaganda (SLB G) : 4 sekolah
h.
SLB campuran :
1.036 sekolah
2. Data Siswa Penyandang Cacat Berdasarkan
Jenis Kecacatan
Belum ada data
pasti tentang jumlah anak termasuk anak usia
sekolah penyandang cacat yang ada di
masyarakat. Data dari Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2009 menunjukkan
bahwa ada 70.501 anak penyandang cacat yang sekolah di
Taman Kanak-kanak
sampai Sekolah Menengah Pertama dan 15.144
anak penyandang cacat di sekolah inklusif. Data
siswa penyandang cacat yang terdaftar di SLB menurut Kementerian
Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada
tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1.
SLB Tunanetra : 1.105 orang
2.
SLB Tunarungu/Tunawicara : 5.610
orang
3.
SLB Tunagrahita :
4.253 orang
4.
SLB Tunadaksa : 229
orang
5.
SLB Tunalaras :
487 orang
6.
SLB Autis :
638 orang
7.
SLB Tunaganda : 171
orang
8.
SLB Campuran :
58.008 orang
________________________________________
Total :
70.501 orang
3. Sarana/Prasarana
UKS di SLB merupakan bagian dari UKS secara keseluruhan
yang harus dikembangkan sejajar dengan UKS di sekolah-sekolah umum seperti TK
dan RA, SD dan MI, SMP dan MTs serta SMA dan MA, SMK dan MAK, namun kenyataannya
sebagian besar SLB di Indonesia saat ini belum memiliki sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan UKS yang memadai. Pelaksanaan kegiatan UKS di SLB juga masih
jauh tertinggal dibandingkan dengan pelaksanaan UKS di sekolah-sekolah umum.
4. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan mengatasi
masalah kesehatan di SLB masih terbatas, sehingga harus mendapat perhatian dari
pemerintah (Dinas terkait). Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan pemberdayaan
guru dan siswa yang “mampu” di sekolah, misalnya dengan memberikan pelatihan
tentang kesehatan dan UKS, menyediakan buku-buku pedoman, poster dan leaflet.
Kegiatan ini menjadi tanggungjawab Dinas terkait sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya.
5. Masalah Kesehatan
Pembinaan kesehatan anak dalam program
pembangunan kesehatan difokuskan untuk menurunkan angka kematian bayi dan
meningkatkan kualitas hidup anak. Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
anak, dikembangkan dan dilaksanakan berbagai program kesehatan anak tanpa
adanya diskriminasi, yang berarti memberikan pelayanan kesehatan kepada semua
anak termasuk anak berkebutuhan khusus atau anak penyandang cacat, baik yang
berada di Sekolah Luar Biasa atau di institusi lainnya, maupun yang ada di masyarakat.
Untuk mendapatkan gambaran status kesehatan
anak, terindentifikasinya masalah kesehatan dan kebutuhan anak berkebutuhan
khusus terutama penyandang cacat, Kementerian Kesehatan RI telah melaksanakan
survey cepat pada 6 SLB di 3 Propinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur, dan hasilnya secara diskriptif, sebagai berikut:
Gambaran hasil survey cepat
di beberapa SLB:
1.
Karakteristik
jenis kecacatan sebagian besar adalah tunanetra, Tunarungu/Tunawicara dan
sebagian kecil gangguan belajar.
2. Karakteristik fisik siswa berdasarkan
indikator tinggi badan dan berat badan sebagian besar normal sesuai umur.
Keadaan pemenuhan kecukupan gizi berdasarkanhasil food recall 24 jam sebagian besar asupan makanan anak di
SLB beraneka ragam. Tekanan darah baik sistolik maupun diastolik dalam batas
normal.
3. Karakteristik perilaku: perilaku hidup bersih
dan sehat sebagian besar siswa sudah cukup baik, hal ini dapat diketahui dari
data sebagai berikut: cuci tangan menggunakan sabun sebelum makan dan setelah
buang air besar kurang lebih 70% serta setelah memegang binatang kurang lebih
30-60%. Kebiasaan gosok gigi 2 kali sehari kurang lebih 70% dan 50-75%
melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
4. Karakteristik pribadi/sosial dan emosional,
hampir sebagian besar siswa dapat melakukan aktivitas sendiri, hanya sebagian
kecil yang dapat ikut kegiatan di masyarakat dan kegiatan sehari-hari di rumah.
5. Pelayanan kesehatan bagi siswa meliputi:
1.
Promotif:
·
Penyuluhan
secara khusus tentang kesehatan yang dilakukan hanya terbatas pada penyuluhan
tentang higienis perorangan seperti mencuci tangan pakai sabun dan menggosok
gigi, narkoba dan AIDS
·
Media
penyuluhan yang ada masih sangat minim, hanya ada poster di beberapa SLB,
tentang narkoba, dan cuci tangan.
·
Cara
penyuluhan yang diinginkan: pendampingan terpadu, pembelajaran berulang kali
dengan menggunakan poster, buku cerita atau film/LCD dengan melibatkan
keluarga.
·
Melakukan
kegiatan olah raga, menari dan kegiatan Pramuka.
2.
Preventif:
·
Pemberian
imunisasi melalui program BIAS
·
Biaya
pemeriksaan IQ yang mahal menyebabkan pemeriksaan hanya berdasarkan evaluasi
manual.
3.
Kuratif:
Tidak ada pemeriksaan kesehatan secara rutin di sekolah. Jika
sakit (biasanya pusing-pusing, influenza, panas, batuk pilek) umumnya mereka
pergi berobat ke dokter swasta, puskesmas atau beli obat warung.
4.
Rehabilitatif
:
Pelayanan rehabilitasi medik belum sesuai kebutuhan misalnya untuk
alat terapi jalan dan alat bantu dengar.
5.
Sumber Daya Manusia :
·
Guru-guru
belum memiliki kemampuan untuk mendeteksi kesehatan siswa.
·
Belum
ada kader kesehatan di SLB
6.
Kemitraan dan jejaring :
·
Kerjasama
lintas sektoral dalam menangani anak berkebutuhan khusus di SLB masih belum
terjalin dengan baik termasuk pelaksanaan UKS.
·
Perhatian
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terhadap pelayanan kesehatan siswa SLB masih kurang.
R e k ome n d a s i
h a s i l s u r v e i
1.
Pelayanan
kesehatan siswa perlu dilaksanakan melalui sistim pelayanan kesehatan yang
sudah ada. Pemeriksaan rutin kesehatan siswa dilakukan sesuai dengan jenis kecacatan.
2.
Kegiatan promosi
kesehatan perlu ditingkatkan meliputi:
penyediaan media penyuluhan, pelaksanaan
penyuluhan kesehatan sesuai kebutuhan, pembinaan pengetahuan, sikap dan perilaku
hidup bersih dan sehat.
3.
Perlunya
dilakukan pelatihan bagi guru, siswa dan orang tua agar dapat melakukan
tindakan sederhana dalam mengatasi masalah kesehatan dan meningkatkan
kemandirian siswa.
4.
Perlu
ketersediaan sarana dan prasarana di Puskesmas disesuaikan dengan kebutuhan
anak penyandang cacat yang ada di lingkungannya (Puskesmas Peduli Penyandang
Cacat).
5.
Menggalang
kemitraan dengan berbagai sektor terkait untuk pemenuhan kebutuhan baik berupa dana
dan sarana prasarana termasuk kemitraan dengan Rumah Sakit, Universitas dan
pihak terkait lainnya dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan baik
spesialistik dan psikologis secara maksimal.
BAB III
PELAYANAN KESEHATAN ANAK PENYANDANG
CACAT
A. PELAYANAN DENGAN PENDEKATAN USAHA
KESEHATAN SEKOLAH (UKS)
Pelayanan kesehatan anak di SLB dapat dilakukan dengan pendekatan
UKS yang pelaksanaannya dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan
dengan tujuan agar derajat kecacatan yang menyebabkan gangguan fungsi tidak semakin
bertambah, mempercepat/meningkatkan fungsi pemulihan, sehingga mengurangi
ketergantungan terhadap orang lain. Selain itu juga meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap penyakit/cedera serta menghindari terjadinya komplikasi akibat
kecacatan yang disandangnya. Ruang lingkup UKS di SLB sama seperti di
sekolah-sekolah umum yang tercermin dalam Trias UKS yang meliputi:
1. Pendidikan Kesehatan
a.
Melakukan
penyuluhan bagi siswa, guru dan orang tua tentang : Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) antara lain: pola hidup aktif, cara memilih makanan bergizi seimbang,
kebersihan gigi dan mulut, pencegahan penyalahgunaan NAPZA/NARKOBA, perilaku
terkait dengan kesehatan reproduksi, perilaku anti kekerasan.
b.
Melaksanakan
pelatihan UKS bagi Tim Pelaksana UKS, guru pembina UKS dan kader kesehatan.
c.
Melaksanakan
pembinaan PHBS dengan metode pemeriksaan langsung (pemeriksaan kebersihan
pribadi, kelas, lingkungan dan sebagainya) dan sistem kompetisi (Lomba).
2.
Pelayanan
Kesehatan
a. Penjaringan dan pemeriksaan
kesehatan berkala serta penyuluhan kesehatan.
b. Imunisasi.
c. Pelayanan gizi dan pembinaan
warung sekolah.
d. Pengobatan ringan: Pertolongan
Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dan Pertolongan Pertama Pada Penyakit (P3P).
e. Penanganan kasus (anemia,
obesitas, diare, kecacingan, malaria, cerebral palsy dan lain lain)
f. Rujukan medik ke Puskesmas dan
Rumah Sakit.
3.
Pembinaan
Lingkungan Sekolah Sehat
a. Pelaksanaan 7K (kebersihan,
keindahan, kenyamanan, ketertiban, keamanan, kerapihan, kekeluargaan).
b. Pembinaan dan pemeliharaan
kesehatan lingkungan.
c. Pembinaan kerjasama antar
masyarakat sekolah (guru, murid, pegawai sekolah, orang tua murid dan masyarakat
sekitar).
d. Melakukan pemeliharaan sarana
fisik dan lingkungan sekolah.
e. Melakukan pengadaan sarana
sekolah yang mendukung terciptanya lingkungan bersih dan sehat termasuk pengadaan
air bersih, jamban dan peturasan.
f. Melakukan kerjasama dengan masyarakat
sekitar sekolah agar senantiasa dapat tercipta lingkungan yang bersih dan
sehat.
g. Melakukan penataan halaman,
pekarangan, perindangan/penghijauan, apotek hidup dan pagar sekolah yang aman.
Untuk melaksanakan UKS
diperlukan organisasi pembina dan pelaksana UKS, yang terdiri dari Tim Pembina
UKS Pusat, Tim Pembina UKS Provinsi, Tim Pembina UKS
Kabupaten/Kota, Tim Pembina
UKS Kecamatan dan Tim Pelaksana UKS yang berkedudukan di Sekolah dan Madrasah
di semua jenjang pendidikan. Organisasi Tim Pelaksana UKS di SLB adalah sebagai
berikut :
B. MATERI KIE PENYULUHAN KESEHATAN
Materi
tentang kesehatan untuk pelayanan UKS di SLB disesuaikan dengan permasalahan
lokal
GIZI
·
Pengetahuan
tentang cara mengenal gejala dini masalah gizi yang meliputi anemi gizi besi (AGB),
kurang vitamin A (KVA), gangguan akibat kurang iodium (GAKI) di daerah endemis
dan kurang energi protein (KEP) serta gizi lebih.
·
Pengetahuan
tentang 13 pesan dasar gizi seimbang (lihat Pedoman Umum Gizi Seimbang/PUGS).
·
Pengetahuan
tentang penilaian status gizi anak berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut
umur mengacu pada indikator berat badan dan tinggi badan bagi siswa yang dapat
berdiri tegak sesuai dengan standar pengukuran yang benar serta cara mengisi
Kartu Menuju Sehat Anak Sekolah (KMS-AS).
·
Pengetahuan
dan pengawasan tentang kantin sehat di sekolah sehat, dan cara memilih makanan
bergizi serta dan pengelolaan dan pemanfaatan kebun sekolah.
KESEHATAN LINGKUNGAN
Lingkungan sekolah sehat harus:
·
Bebas
sampah
·
Bebas
jentik
·
Bebas
asap rokok
·
Memiliki
kantin sehat
·
Memiliki
sarana sikat gigi massal
·
Memiliki
ruang kelas, ruang UKS, ruang perpustakaan, ruang guru dan lain-lain yang memenuhi
syarat kesehatan
·
Memiliki
kamar mandi dan WC yang memenuhi syarat kesehatan dan standar khusus sesuai
jenis kecacatan
·
Memiliki
sarana pembuangan air limbah (SPAL) yang memenuhi syarat
·
Memiliki
perindangan/penghijauan dan pagar yang memadai
·
Memiliki
sarana prasarana olah raga
PENCEGAHAN PENYAKIT
·
Diare.
·
Kecacingan.
·
Malaria.
·
Demam
berdarah.
·
Hepatitis.
·
Typhoid.
·
Tuberkulosa
·
Penyakit
rabies (anjing gila).
·
Filariasis
(kaki gajah).
·
Schistosomiasis.
·
Toxoplasmosis
·
Flu
burung dan flu A Baru H1N1.
·
Leptospirosis.
·
Penyakit
akibat virus (Chicken Pox/Varicella, Herpes Zoster).
·
Penyakit
kulit.
·
Penyakit
mata.
·
Penyakit
telinga, hidung dan tenggorokan.
·
Penyakit
gigi dan mulut
IMUNISASI
Imunisasi yang diberikan pada
anak SLB disesuaikan dengan usia anak. DT dan Campak diberikan pada anak usia 6 tahun dan TT pada anak usia 7-8 tahun.
KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
·
Pendidikan
kesehatan reproduksi remaja.
·
Pertumbuhan
dan perkembanganremaja
·
Pendidikan
seks pranikah bagi remaja.
·
Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja.
·
Isu
gender dalam kesehatan reproduksi remaja.
KEBERSIHAN PRIBADI
·
Kebersihan
kulit
·
Kebersihan
kuku
·
Kebersihan
rambut
·
Kebersihan
mata
·
Kebersihan
gigi dan mulut
·
Kebersihan
kaki dan tangan
·
Kebersihan
telinga, hidung dan tenggorokan
·
Kebersihan
alat reproduksi
KESEHATAN JIWA
·
Fase
perkembangan kepribadian anak
·
Pengaruh
sekolah dan keluarga terhadap perkembangan kepribadian anak.
·
Masalah
kesehatan jiwa anak.
·
Perkembangan
psikososial remaja.
·
Gangguan
hiperkinetik (hiperaktif)
·
Gangguan
tingkah laku
·
Gangguan
cemas, gangguan bicara atau gagap
·
Epilepsi
atau ayan
·
Gangguan
psikotik
·
Gangguan
perkembangan mental dan seksual
·
Pola
asuh anak
C. PAKET PELAYANAN KESEHATAN
Pelayanan
kesehatan anak usia sekolah penyandang cacat dilaksanakan secara komprehensif,
diutamakan pada upaya peningkatan dan pencegahan didukung oleh upaya pengobatan
dan pemulihan kesehatan. Paket program yang dilaksanakan bersifat responsif
terhadap permasalahan kesehatan anak usia sekolah penyandang cacat, antisipatif
terhadap kebutuhan sesuai proses tumbuh kembang anak.
No.
|
Sasaran
|
Paket Pelayanan
|
Keterangan
|
1
|
Anak Pra Sekolah
(TKLB)
|
·
SDIDTK (Stimulasi, Deteksi dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang) Anak
·
Pelayanan kesehatan insidentil
·
UKGS
·
Pemberian Vitamin
A
·
P3K, P3P
|
Pelayanan
kesehatan
disesuaikan
dengan kondisi
murid.
|
2
|
Anak Usia Sekolah
a) SDLB
b) SMPLB
c) SMALB
|
· Penjaringan kesehatan
· Pemeriksaan kesehatan berkala
· Pelayanan kesehatan insidentil
· UKGS
· Imunisasi, P3K, P3P
· Konseling
|
|
Pelayanan Kesehatan Anak Penyandang Cacat
Pelayanan kesehatan bagi anak
penyandang cacat diawali dengan deteksi dini pada saat penerimaan siswa baru
baik di SLB, sekolah inklusi maupun sekolah umum. Pelayanan kesehatan berkala
dilakukan sama seperti yang dilaksanakan di sekolah-sekolah umum yaitu sekali
enam bulan. Khusus untuk SLB, Pelayanan kesehatan insidentil sebaiknya
dilakukan sekali dalam sebulan atau minimal tiga bulan sekali karena anak
penyandang cacat berisiko lebih tinggi terhadap penyakit dibanding anak normal
di sekolah umum dan rawan bertambah parah kecacatannya serta
ketergantungannyapada orang lain. Jika anak mengalami sakit di sekolah diluar.
jadwal kunjungan Puskesmas,
penanganan sederhana dapat dilakukan oleh guru pembina UKS dan apabila tidak
dapat diatasi segera dirujuk ke Puskesmas.
Penanganan kasusnya disesuaikan dengan
tingkat keparahan kecacatan serta melihat tanda-tanda untuk masing-masing jenis
kecacatan sebagai berikut:
1. TUNA NETRA
Tingkat keparahan
tunanetra adalah buta partial dan buta total.
a)
Buta
partial
Gangguan
penglihatan yang menyebabkan seseorang tidak dapat menghitung jari (finger
counting) dari jarak 3 (tiga) meter dengan koreksi terbaik, yang terbanyak
adalah kelainan refraksi. Kelainan refraksi yang terberat adalah low vision
dengan keluhan: mata merah, goyang terus, sakit kepala, pusing dan mual, sering
menggosok mata, mengerutkan dahi atau memicingkan mata, memiringkan kepala,
benda-benda yang dilihat selalu didekatkan pada mata, serta mata juling.
Penanganan:
1) Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu E,
Snellen chart dan Pin hole
2) Pemeriksaan Mata
3) Rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih
lengkap
b)
Buta
Total
2. TUNARUNGU/TUNAWICARA
Pemeriksaan
gangguan pendengaran dilakukan dengan cara uji berbisik dan uji Penala. Sebelum
diperiksa, telinga dibersihkan dulu. Peralatan yang digunakan terdiri dari: garputala,
lampu kepala/senter, pembersih serumen dan otoskop.
Tingkat keparahan
Tunarungu/Tunawicara dapat diketahui melalui tes pendengaran sederhana, yang
dapat digolongkan menjadi:
a)
Tunarungu/Tunawicara
Ringan:
Mampu mendengar
dan mengulangi kata-kata yang diucapkan dengan suara normal/biasa pada jarak 1
meter (kemampuan daya dengar kesetaraan audiometrik: 26-40 dB) Penanganan:
kontrol ulang setiap 6 bulan.
b)
Tunarungu/Tunawicara
Sedang:
Mampu mendengar
dan mengulangi kata-kata yang diucapkan dengan suara yang diperkeras dengan
jarak 1 meter (kemampuan daya dengar kesetaraan audiometrik 41-60dB). Penanganan:
bila terjadi bilateral, perlu dirujuk kedokter spesialis THT.
c)
Tunarungu/Tunawicara
Berat:
Mendengar
kata-kata yang disampaikan dengan berteriak pada sisi telinga yang sehat
(kemampuan daya dengar kesetaraan audimetrik 61-80 dB). Penanganan: dirujuk ke
dokter Spesialis THT.
3. TUNAWICARA
Bila dibandingkan
dengan anak cacat lainnya, penderita tunawicara cenderung tergolong yang paling
ringan, karena secara lahiriah mereka tidak kelihatan memiliki kelainan dan tampak
seperti orang normal. Salah satu penyebab yang paling sering terjadi pada
Tunawicara adalah gangguan pendengaran yang tidak terdeteksi secara dini,
karena permasalahan paling mendasar yang dialami seorang tuli adalah kurang
mendapat stimulasi bahasa sejak lahir. Peran keluarga dan masyarakat dalam
mendeteksi dini gangguan pendengaran sangat penting untuk menemukan penderita
Tunawicara dan menolongnya dari keterasingan sehingga mereka dapat memanfaatkan
dan meningkatkan kemampuannya berkomunikasi dengan lingkungannya.
Beberapa tanda
khusus pada anak sekolah yang menderita Tunawicara adalah:
sulit mengikuti
percakapan normal, selalu memperhatikan mimik atau bibir lawan bicara,
seringmenghindar dari percakapan, suka menyendiri, bicara keras, nada bicara
tidak normal, tidak lancar, dan menggunakan bahasa isyarat
Penanganan:
Bila terdapat
gejala tersebut diatas lakukanlah pengujian kemampuan pendengaran sederhana
dengan uji percakapan atau uji berbisik kurang dari 4 meter. Lakukan juga pemeriksaan
pada telinga luar dan dalam untuk memastikan dan menentukan jenis dan derajat
gangguan pendengaran. Petugas yang memberikan pelayanan kesehatan bagi tunawicara
diharapkan dapat lebih sabar dan berbicara dengan menggunakan mimik yang jelas
dan keterarahwajahan ( berhadap-hadapan ) agar komunikasi dapat berjalan
lancar.
4. TUNAGRAHITA
Tingkat keparahan
tunagrahita dapat diketahui melalui deteksi keterbelakangan mental dengan
menggunakan instrumen khusus, yang dapat digolongkan menjadi:
a.
Keterbelakangan
mental ringan IQ 50-69.
b.
Keterbelakangan
mental sedang IQ 35-49.
c.
Keterbelakangan
mental berat IQ 20-34.
d.
Keterbelakangan
mental sangat berat IQ <20
Untuk dapat mengenal keterbelakangan mental
pada anak usia
sekolah perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Membandingkan perkembangan
anak dengan saudara atau teman sebayanya.
b.
Penampilan fisik:
Sering mempunyai gambaran fisik tertentu yang mudah dikenali, ongoloid, mata
juling, lidah menjulur.
c.
Kesulitan dalam
adaptasi sosial misalnya : sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan
d.
Perilaku yang
abnormal: Misal: hiperaktif, iritabilitas, distraktabilitas, kekanak-kanakan,
menarik diri dan tampak aneh.
5. TUNA DAKSA
Adalah kelainan
yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada
fisik dan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan syaraf tulang belakang Klasifikasi
anak tuna daksa:
Cerebral palsy
ringan, Cerebral palsy Sedang dan Cerebral palsy Berat Penggolongan cerebral
palsy menurut topografi: monoplegia, hemiplegia, paraplegi, diplegia,
quadriplegi, Penggolongan menurut fisiologi (motorik), meliputi: Spastik, atetoid,
ataksia, tremor, rigid, tipe campuran.
Penanganan:
a.
Penanganan awal
di Puskesmas selaku anggota Tim Rehabilitasi Berbasis Masyarakat ( RBM),
tergantung kebutuhan penderita antara lain latihan gerak
b.
Dirujuk ke
spesialis rehabilitasi medik.
6. TUNALARAS
Anak tunalaras
mengalami hambatan dan gangguan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial dan masyarakat, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma dan adat yang
berlaku dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Biasanya ditandai dengan
gejala sebagai berikut:
a.
Gangguan emosi
dan gangguan sosial, misal: tidak mau bergaul dan menyendiri, melarikan diri
dari tanggung jawab, berbohong, menipu, mencuri, menyakiti orang lain;
b.
Rasa rendah diri
berlebihan, misal: terlalu mempersoalkan diri sendiri, sering minta maaf, takut
tampil dimuka umum dan takut bicara.
c.
Merendahkan harga
diri, misal : bernada murung, cepat merasa tersinggung dan melakukan perbuatan
jahat.
7. ATTENTION
DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
Dalam bahasa
Indonesia dikenal sebagai Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas
(GPPH). Kelainan ini menyebabkan masalah dalam belajar dan perilaku, sering menyulitkan
diri sendiri,keluarga dan orang lain. Karakteristik untuk kelainan ini adalah
hiperaktif, tidak kenal lelah, tidak bisa istirahat, perilaku tidak sabaran dan
impulsif serta perhatian mudah beralih, tetapi masih mampu memberikan perhatian
terhadap hal-hal yang disenangi.
Gejala ADHD
antara lain: bermasalah dalam mengadaptasi hal baru, sering mengganggu anak
lain, perilaku merusakdiri, suka marah-marah, tidak sabaran, sulit menunggu,
cepat jadi frustrasi, impulsif, canggung atau kaku.
Penanganan:
·
Konseling orang
tua/pengasuh
·
Di rujuk ke
spesialis jiwa
8. AUTISME
Merupakan salah
satu gangguan perkembangan fungsi otak yang meliputi gangguan kognitif, bahasa,
komunikasi, gangguan interaksi sosial dan perilaku yang berulang-ulang. Tanda-tanda
anak autisme antara lain: sulit berkomunikasi, tidak mampu mengekspresikan
perasaan, berbicara sangat lambat, monoton, Echolalia (membeo), acuh tak acuh,
senang menyendiri, bengong, konsentrasi kosong, sangat sensitif terhadap
sentuhan halus, sensitif terhadap suara-suara tertentu, tidak bermain seperti
anak-anak pada umumnya, sering terpaku pada benda-benda tertentu, sering marah tanpa
alasan, mengamuk tak terkendali menyerang orang tanpa diduga-duga dan sebagian
kecil mempunyai daya ingat yang sangat kuat serta mempunyai kemampuan melebihi anak
normal.
Penanganan:
Terapi wicara,
terapi okupasi, terapi bermain, terapi medikamentosa/obat-obat an (drug
terapi), terapi melalui makan (diet terapi), sensory integration teraphy,
auditory integration therapy, biomedical treatment theraphy, hydro theraphy,
terapi musik.
9. TUNAGANDA
Adalah anak yang
memiliki kombinasi kelainan (baik 2 jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan
adanya masalah pendidikan yang serius, sehingga tidak dapat diatasi dengan suatu
program pendidikan khusus untuk satu kelainan saja, melainkan harus didekati dengan
variasi program pendidikan yang sesuai dengan kelainan yang dimilikinya.
Tanda-tandanya:
antara lain: kurang komunikasi, perkembangan motorik dan fisik yang terlambat,
perilaku yang aneh dan tidak bertujuan, kurang terampil dalam menolong diri
sendiri, kecendrungan lupa akan ketrampilan yang sudah dikuasai Klasifikasi
Tunaganda:
Pada dasarnya ada beberapa kombinasi
kecacatan:
No
|
Kecacatan Utama
|
Kecacatan
Tambahan
|
1
|
Tunagrahita
|
Tunadaksa (cerebral palsy), Tunarungu/Tunawicara, tunalaras dan tunanetra
|
2
|
Tunarungu/Tunawicara
|
Tunagrahita atau tunanetra
Gabungan dengan tunanetra inilah yang dipandang paling berat cara
menanganinya
|
3
|
Tunanetra
|
Tunalaras, Tunarungu/Tunawicara, atau kecacatan lainnya
|
4
|
Tunadaksa
|
Tunagrahita, tunanetra, Tunarungu/
Tunawicara, kelainan emosi dan kecacatan lainnya.
|
5
|
Tunalaras
|
Autisme, Tunarungu/Tunawicara
|
6
|
Kombinasi kecacatan lain
|
|
Penanganan
Untuk
mengatasi masalah anak tunaganda diperlukan tindakan menggunakan
pendekatan multidisipliner yang terdiri dari:
1) Terapi Wicara dan bahasa
2) Terapi fisik
3) Terapi okupasional
D. STANDAR RUANGAN, TENAGA DAN PERALATAN
Agar
pelaksanaan UKS dapat berjalan baik diperlukan adanya ruangan, tenaga dan
peralatan yang memenuhi standar yaitu:
1. Ruangan UKS
a.
Ruang UKS/Pojok
UKS yang mudah dijangkau
b.
Standar ruang UKS
= 5 x 6 m sesuai kemampuan
c.
Ventilasi dan
pencahayaan yang cukup
d.
Adanya wastafel
2. Tenaga UKS
Kebutuhan tenaga pelaksana UKS di SLB antara
lain:
a.
Kader
Kesehatan Sekolah (siswa yang mampu)
b.
Guru Pembina
UKS
c.
Guru/orang
tua sebagai pembimbing kader
d.
Tenaga
Kesehatan
3. Peralatan UKS
a)
Obat-obatan
sederhana (P3P) :
·
Paracetamol
·
Antasida
·
Oralit
·
Balsem
·
Aude cologne
b)
Peralatan
P3K :
·
iodine Povidone,
Rivanol, alcohol 70%, boor water
·
Kassa Steril,
Kassa gulung, bidai (spalk), mitella
·
Plester
·
Kapas
·
Gunting
·
Senter
·
Tongue Spatel
c)
Perlengkapan
UKS lainnya :
·
Timbangan badan
·
Alat ukur tinggi
badan
·
Media KIE :
Gambar-gambar, Alat Peraga Edukaif
·
Snellen
Chart/Kartu E, Pin hole
·
Stetoskop
·
Tensimeter
·
Thermometer
·
Kaca mulut,
Sonde, Pincet,
·
Garpu tala
·
Otoskop
·
Hammer reflex
d)
Tempat
tidur, Tandu, Selimut, Mitella, bidai
e)
Buku
KIA, Kartu KMS-AS (laki-laki/perempuan)
f)
Buku
pencatatan, kartu status, buku rujukan.
g)
Meja,Kursi,
Lemari obat dan peralatan
h)
Tempat
sampah tertutup
i)
Jam
dinding
4. Kantin Sekolah
Adanya kantin sekolah yang memenuhi syarat
kesehatan, antara lain memiliki:
a.
Tempat cuci
piring dengan air yang mengalir (sink)
b.
Wastafel /
tempat cuci tangan dengan air mengalir dilengkapi sabun
c.
Lemari saji
kaca tertutup
d.
Tempat
sampah tertutup
e.
Sarana
pembersih
f.
Penjaga
kantin yang sehat dan memakai celemek dan tutup kepala
g.
Lantai dan
dinding mudah dibersihkan.
h.
Makanan yang
dijual bergizi, beragam, berimbang dan tidak mengandung bahan makanan tambahan,
zat pengawet dan pewarna yang berbahaya
i.
Penjapit
makanan
E. PELAKSANA PELAYANAN KESEHATAN
Pelaksana
pelayanan kesehatan adalah mereka yang langsung melaksanakan kegiatan pelayanan
kesehatan anak usia sekolah penyandang cacat:
a.
Di Sekolah:
guru pembina UKS, guru yang ditunjuk dan diserahkan wewenang untuk kegiatan, kader
kesehatan sekolah, komite sekolah;
b.
Di Keluarga:
orang tua, terutama ibu dari anak usia sekolah penyandang cacat;
c.
Di
Masyarakat: kader kesehatan misalnya dasa wisma, Forum kesehatan Desa, RBM,
tenaga kesejahteraan sosial kecamatan, desa siaga.
d.
Di Puskesmas:
semua tenaga Puskesmas yang ditugasi mengurusi kegiatan pokok terkait pelayanan
kesehatan anak usia sekolah, dikoordinasikan oleh tenaga Puskesmas yang
ditugasi mengurus kesehatan sekolah dan Perawatan Kesehatan Masyarakat.
Pelaksana
pelayanan kesehatan di sekolah, keluarga dan masyarakat harus diberi bimbingan
secara khusus agar mampu melakukan tindakan sederhana dan bermanfaat (swahusada)
sesuai kondisi dan kebutuhan anak usia sekolah penyandang cacat.
F. PERAN PUSKESMAS
1. Promotif
Bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,
kesadaran dan kemampuan dalam pemeliharaan kesehatan bagi anak penyandang
cacat, melalui:
1)
Media Komunikasi
Informasi Edukasi (KIE)
2)
Penyebarluasan
informasi tentang PHBS (menggunakan metode konvensional dan life skill
education untuk anak penderita retardasi mental).
3)
Melakukan
aktifitas yang tepat untuk mencegah kondisi sakit melalui kegiatan olah raga,
kepramukaan / saka bhakti husada dan lain-lain yang disesuaikan dengan derajat
kecacatan.
4)
Penyuluhan
tentang gizi seimbang, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan reproduksi, infeksi
menular seksual, pencegahan penyalahgunaan NAPZA/ NARKOBA, pencegahan merokok,
kantin sehat, pengelolaan sampah, pembuangan air limbah, kebersihan kamar
mandi, WC dan lain-lain (menggunakan metode konvensional dan life skill
education untuk anak penderita retardasi mental).
5)
Diskusi kelompok
terarah melalui pendekatan yang efektif dan disesuaikan dengan derajat
kecacatan.
2. Preventif
Bertujuan untuk mendeteksi, mencegah
penyakit-penyakit dan komplikasi sedini mungkin, melalui:
1)
Imunisasi
2)
Pemberian
suplemen vitamin A
3)
Pemberian iodium
(daerah endemis)
4)
Pemberian tablet
besi (Fe)
5)
Pemberian obat
cacing
6)
Pengaturan menu
gizi seimbang sesuai kebutuhan
7)
Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN)
8)
Kesehatan Olah
raga dan aktifitas fisik
9)
Pelaksanaan
penjaringan kesehatan, pemeriksaan kesehatan berkala dan pemeriksaan kesehatan
insidentil
10) Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) tahap 1.
3. Kuratif
Bertujuan untuk mengobati penyakit yang
ditemukan pada siswa penyandang cacat, melalui:
1)
Penjaringan
kesehatan, pemeriksaan berkala dan pelayanan kesehatan insidentil
2)
P3K
3)
P3P (pengobatan sederhana)
4)
UKGS tahap 2-3.
4. Rehabilitatif
Bertujuan untuk mengembalikan dan
mempertahankan kemampuan fungsi, kemandirian serta meningkatkan aktivitas dan peran
serta/partisipasi murid di masyarakat, melalui:
a.
Pembinaan pada
keluarga yang mempunyai anak penyandang cacat dalam program RBM dan Forum Komunikasi
Keluarga dengan anak cacat (FKKDAC)
b.
Konseling dan
rujukan rehabilitasi ke Rumah Sakit Umum atau Klinik Tumbuh Kembang yang ada di
wilayah kerja.
c.
Pelatihan motorik
kasar, halus dan lain-lain melalui keterampilan vokasional di ruang
keterampilan.
d.
Melakukan
tindakan di ruang terapi.
G. SISTIM RUJUKAN
Pelaksanaan
rujukan dilakukan dengan mengacu pada sistim rujukan kesehatan yang ada.
Puskesmas merupakan pusat rujukan pelayanan kesehatan di tingkat dasar. Jika
ditemukan kasus yang membutuhkan pelayanan rujukan lebih lanjut, dapat dikirim
ke sarana pelayanan kesehatan yang lebih mampu.
H. SISTIM PEMBIAYAAN
Pelaksanaan
pelayanan kesehatan anak penyandang cacat di SLB, memerlukan biaya operasional
dan biaya penyediaan “alat bantu” yang perlu diupayakan melalui berbagai
sumber. Untuk menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan dalam rangka memenuhi
hak anak penyandang cacat di SLB, maka pemerintah perlu mengalokasikan anggaran
di tingkat pusat, provinsi dan Kab/Kota, melalui:
1)
Anggaran
Pembangunan dan Belanja Negara (APBN)
2)
Anggaran
Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi
3)
Anggaran
Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD)Kabupaten/Kota Disamping itu pembiayaan
untuk penyelenggaraan kesehatan anak penyandang cacat juga dapat diperoleh dari
sumber lain yang tidak mengikat, seperti:
1) Swasta
2) Perorangan
3) LSM
4) Donor agency
BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan Pelaporan
setiap program di Puskesmas, seharusnya sudah terakomodasi dan mengacu
sepenuhnya kepada Sistim Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistim Informasi dan Manajemen
Puskesmas (SIMPUS). Akan tetapi, karena tuntutan pelayanan kesehatan dan
pengembangan program yang dinamis serta membutuhkan pemantauan dan evaluasi
yang variabelnya belum tertampung dalam SP2TP, maka pencatatan dan pelaporan
terhadap pelayanan dan program baru tersebut, termasuk untuk program pelayanan
kesehatan anak cacat di Sekolah Luar Biasa (SLB) harus dilaksanakan.
Pengembangan variabel dalam
pencatatan pelaporan ini harus dibuat seminimal mungkin dengan memilih variabel
yang dilaporkan ke Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat sesuai kebutuhan mengacu
pada piramida informasi, sehingga tidak membebani Puskesmas. Pencatatan
diusahakan agar bisa memanfaatkan berbagai format yang ada, sedangkan pelaporan
diupayakan sebagai lampiran komponen pelaporan SP2TP.
A. PENCATATAN
Pencatatan pemeriksaan
insidentil, penjaringan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan berkala menggunakan
formulir penjaringan kesehatan peserta didik dalam pelaksanaan UKS, namun disesuaikan dengan kondisi kecacatan
anak. Hasilnya dikompilasi dalam formulir “Rekapitulasi
Hasil Penjaringan Kesehatan Peserta Didik” (lampiran 6). Untuk pelayanan
kesehatan insidentil baik di sekolah maupun di Puskesmas dipergunakan status
penderita yang biasa digunakan di Puskesmas. Hasilnya dikompilasi dengan
menggunakan register pelayanan kesehatan anak penyandangcacat (RAC-1) dan untuk
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit digunakan register (RAC-2)
.
B.
PELAPORAN
Untuk pelaporan hasil
penjaringan, pemeriksaan kesehatan berkala dan pelayanan kesehatan insidentil
dilakukan secara berjenjang dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Dinas Kesehatan Provinsi dan Departemen Kesehatan cq Direktorat Bina Kesehatan
Anak dengan menggunakan format pelaporan hasil penjaringan, pemeriksaan berkala
dan pelayanan kesehatan insidentil peserta didik (lampiran 7,8,9) Pelaporan
dilakukan secara reguler dengan menggunakan format pelaporan Puskesmas (Format
LAC-1), Rumah Sakit (Format LAC-2), Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (LAC-3) dan
Provinsi (LAC-4).
Frekuensi pelaporan sebagai berikut :
1.
Puskesmas Ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota :
·
Penjaringan
Kesehatan : 1 tahun sekali
·
Pemeriksaan
berkala : 6 bulan sekali
·
Pelayanan
kesehatan insidentil : 3 bulan sekali
2.
Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi
·
Penjaringan
Kesehatan : 1 tahun sekali
·
Pemeriksaan
berkala : 6 bulan sekali
·
Pelayanan
kesehatan insidentil : 6 bulan sekali
3.
Dinas Kesehatan
Provinsi ke Departemen Kesehatan : 1 tahun sekali
Masing-masing tingkatan administrasi yang
menerima laporan berkewajiban menganalisa dan memberi umpan balik untuk
penilaian dan pengembangan program. Selain pelaporan teknis program di atas
untuk pelaksanaan UKS di SLB di laporkan sesuai dengan mekanisme yang ada
C. INDIKATOR
1. Indikator
tingkat Puskesmas
a. Persentase
anak usia sekolah di SLB yang dilayani penjaringan
= Jumlah murid SLB baru yang diperiksa x
100%
Jumlah murid SLB baru
Target Penjaringan 100%
b.
Persentase anak usia sekolah di SLB yang
dirujuk.
= _____Jumlah murid SLB yang dirujuk____ x
100%
Jumlah murid SLB yang seharusnya dirujuk
Target Rujukan 100%
c.
Persentase anak usia sekolah di SLB yang
dibina.
= Jumlah murid SLB yang dibina x 100%
Jumlah seluruh murid SLB
Target pembinaan 100%
d.
Persentase keluarga dari anak usia sekolah di
SLB di wilayah kerja Puskesmas yang dibina.
= _Jumlah keluarga murid SLB yang dibina_
x 100%
Jumlah seluruh keluarga murid SLB di wilayah
kerja Puskesmas
Target pembinaan 100%
e.
Trend menurunnya persentase absensi murid di
SLB akibat sakit.
= Jumlah murid SLB yang absen karena sakit
dalam 1 bulan x 100%
Jumlah seluruh murid SLB pada bulan tersebut
Untuk melihat trend penurunan absensi murid
yang sakit, dilakukan pemantauan persentase absensi per semester atau per
tahun.
2. Indikator
tingkat Kabupaten/Kota :
minimal 1 Puskesmas membina SLB di wilayah
kerjanya
3. Indikator
tingkat Provinsi
Persentase
Kabupaten/Kota yang mempunyai Puskesmas yang membina SLB di wilayah kerjanya
= Jumlah Kab/Kota mempunyai Puskesmas pembina
SLB x 100%
Jumlah Kab/Kota yang mempunyai SLB di wilayah
kerjanya
Target Pembinaan 100%
BAB V
PENUTUP
Pelayanan kesehatan bagi anak
di SLB, perlu mendapat perhatian dan penanganan secara khusus dari berbagai
pihak untuk mengurangi dan mencegah derajat kecacatan yang lebih parah,
sehingga diharapkan mereka dapat melakukan
aktifitas kehidupan sehari-hari secara
maksimal. Puskesmas sebagai pemberi pelayanan kesehatan terdepan, diharapkan
dapat melakukan pembinaan dan pelayanan kesehatan secara komprehensif,
berkesinambungan dan berkualitas. Peningkatan kesehatan anak penyandang cacat termasuk
anak di SLB, memerlukan penanganan secara multidisipliner, sehingga membutuhkan
kerjasama dengan semua unsur terkait dalam pelaksanaannya. Salah satu upaya
strategis adalah melalui program UKS. Diharapkan buku pedoman ini dapat
dijadikan acuan bagi petugas kesehatan dalam melaksanakan pelayanan terhadap anak
penyandang cacat di SLB, sekaligus dapat memperluas jangkauan program UKS di
wilayah kerjanya.
Daftar Pustaka:
1.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Buku Kumpulan Materi Tehnis Medis Anak
Berkelainan/ALB, Jakarta, 1994
2.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Untuk Tenaga Kesehatan: Usaha Kesehatan
Sekolah di Tingkat Sekolah Lanjutan, Jakarta, 2001.
3.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Petunjuk Teknis Penjaringan Kesehatan Anak Sekolah, Jakarta, 2008.
4.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, Jakarta, 1992.
5.
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah
Khusus Tunanetra (SLB-A), Jakarta, 2008.
6.
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah
Khusus Tunarungu/Tunawicara (SLB-B), Jakarta, 2008.
7.
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah
Khusus Tunagrahita (SLB-C), Jakarta, 2008.
8.
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah
Khusus Tunadaksa (SLB-D), Jakarta, 2008.
9.
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah
Khusus Tunalaras (SLB-E), Jakarta, 2008.
10.
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah
Khusus Untuk Autistik (SLB-F), Jakarta, 2008.
11.
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah
Khusus Tunaganda (SLB-G), Jakarta, 2008.
12.
Phyllis A. Balch
CNC, Prescription for Nutritional Healing, Avery; a member of PENGUIN GROUP
(USA), INC., New York, 2000.
13.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemeriksaan Kemampuan Fungsional
Penyandang Cacat untuk Sekolah dan Melamar Kerja, Jakarta, 2009.